Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Trend Bisnis Rumah, Apartemen, dan Hunian Lainnya dari Tahun ke Tahun

Trend bisnis properti 2018 tak lepas dari trend bisnis tahun-tahun sebelumnya. Banyak pelaku bisnis berharap, tahun 2018 trend bisnis properti menunjukan trend positif. Namun realitanya, gejolak ekonomi nasional dan dunia turut menjadi penentu bagaimana masa depan bisnis properti.

Trend bisnis properti 2018 tak lepas dari trend bisnis tahun-tahun sebelumnya. Banyak pelaku bisnis berharap, tahun 2018 trend bisnis properti menunjukan trend positif. Namun realitanya, gejolak ekonomi nasional dan dunia turut menjadi penentu bagaimana masa depan bisnis properti.

Dalam beberapa tahun, diakui atau tidak trend bisnis properti seperti sebuah siklus. Layaknya sebuah musim, siklus ini dipengaruhi banyak faktor, terutama kondisi ekonomi nasional dan daya beli konsumen.


Trend Properti Tahun 1998


Tragedi kerusuhan di Ibukota memicu krisis moneter yang berdampak pada krisis ekonomi Indonesia dan krisis finansial di asia. Nilai tukar rupiah terhadap dollar mencapai Rp.16.650 per dolar AS.

Pergerakan dolar AS tahun ini jelas berbeda dengan saat krisis 1998. Pada era Presiden Soeharto, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berada di kisaran Rp 2.000 dengan titik terendahnya Rp 1.977 per dolar AS pada tahun 1991.

Sampai terjadi krisis moneter dan pelemahan rupiah yang sangat drastis. Rupiah terkikis seiring semakin rontoknya cadangan devisa Indonesia.

Dolar AS secara perlahan mulai naik ke Rp 4.000 di akhir 1997. Pawa awal 1998 di level Rp 6.000.

Setelah sempat di level Rp 13.000, dolar AS mulai jinak dan kembali menyentuh Rp 8.000 pada April 1998.

Namun itu tak berlangsung lama, pada Mei 1998 tragedi penembakan mahasiswa dan kerusuhan hingga jatuhnya Orde Baru kian menjadikan rupiah semakin lemah.

Sampai akhirnya dolar AS menyentuh level tertinggi Rp 16.650 pada Juni 1998. Dolar AS kemudian berbalik arah setelah reformasi. Kepercayaan investor pun mulai kembali meski tak secepat ekspektasi.

Krisis ekonomi mengakibatkan masyarakat kehilangan daya beli. Begitu halnya daya beli terhadap properti sehingga pasar properti stagnan.

Lebih parah lagi, dampak kerusuhan menyebabkan banyak orang yang ingin menjual propertinya di Indonesia.

Namun, pembeli properti kala itu pun langka hingga harga properti pun anjlok. Tak sedikit properti yang tak terserap pasar. Proyek mangkrak karena ketiadaan pembeli.


Trend Properti Tahun 2000


Pasar properti mulai menunjukan trend positif pada taun 2000. Puncaknya, pada 2002 dan 2003 harga properti Indonesia melambung tinggi.

Sayangnya, tingginya harga properti tak diimbangi dengan kemampuan daya beli. Akibatnya harga properti pun kembali turun.


Trend Properti dan Krisis Ekonomi Global Tahun 2008


Krisis ekonomi belum berakhir. Bisnis properti kembali diuji dengan krisis ekonomi global atau yang dikenal kala itu dengan istilah krisis ekonomi Jilid 2.

Pemicu krisis ekonomi jilid 2 ini tak lain lantaran terjadinya krisis ekonomi di Amerika Serikat (AS) yang dipicu kredit perumahan beresiko tinggi (subprime mortgage). Efeknya terjadi bubble property hingga harga properti anjlok, Lehmann Brothers raksasa perbankan AS sampai bangkrut dan menyeret pihak-pihak terkait di seluruh dunia terkena imbas.

Subprime mortagage adalah kasus di mana kelas menengah bawah (subprime) di AS mendapat kemudahan dalam kepemilikan rumah. Subprime mortgage sendiri merupakan kredit jangka panjang antara 10-20 tahun, bahkan lebih, sehingga mengakibatkan terjadi mismatch credit.

Krisis ekonomi AS itu menjalar ke seluruh dunia. Negara pengekspor produk ke Amerika mengalami krisis hebat lantaran ekspornya harus terhenti. Rencana investasi di negara pengekspor seperti Indonesia pun terganggu.

Krisis ekonomi memukul seluruh sektor ekonomi termasuk properti. Akibatnya pasar properti nasional kembali tertekan hingga turun signifikan.


Trend Properti Tahun 2009 dan Tahun 2010


Sepanjang 2009 pasar properti tidak terlalu mengalami peningkatan. Kondisi ini terjadi hingga 2010. Namun pasar kembali membaik pada 2011 karena pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6,5 persen kala itu.

Membaiknya pertumbuhan ekonomi berdampak pada kemampuan daya beli masyarakat termasuk daya beli terhadap properti.


Booming Property Tahun 2012 dan Tahun 2013


Membaiknya pasar properti sampai pada puncaknya tahun 2012 dan tahun 2013. Ekononmi nasional yang membaik ditambah suku bunga yang rendah dan meningkatnya jumlah kalangan menengah yang sanggup membeli properti memicu gairah penjualan properti.

Sayangnya, akhir 2013 Bank Indonesia memperketat aturan tentang kredit. Kebijakan ini dilatar belakangi kekhawatiran terjadinya bubble property. Kekhawatiran ini lantaran melihat gairah sektor kredit properti tak diimbangi oleh sektor lainnya.

Kebijakan Bank Indonesia ini pun mengakibatkan munculnya aturan uang muka yang lebih tinggi dan larangan bank mengucurkan kredit pada proyek properti yang belum atau sedang dibangun.

Dampak aturan ini, laju penjualan properti kembali tertekan. Kondisi ini ditambah dengan tahun politik yang dihadapi pada 2014. Tahun politik membuat pengembang dan investor memilih wait and see ketimbang membuka proyek baru.

Pada tahun 2015, trend bisnis properti tak lantas membaik. Melambatnya laju pertumbuhan ekonomi nasional adalah penyebabnya. Trendnya tak lantas membaik meski BI sudah mengeluarkan kebijakan memperkecil bunga kredit.


Trend Bisnis Properti Tahun 2016 hingga Tahun 2019


Awal 2016 hingga sementer pertama penjualan properti belum bergairah. Meski begitu, kebijakan loan to value (LTV) atau plafon kredit yang dikeluarkan pemerintah akan terasa dampaknya.

Peningkatan penjualan properti di awal 2017 diprediksi akan sampai pada puncaknya pada 2018 dan 2019.

Kondisi ini seperti sebuah siklus yang terulang. Pada 2015 trend properti mengalami tekanan hingga 2016 kemudian membaik pada 2017.

Prediksi bahwa pasar properti akan sampai pada puncaknya pada 2018 dan 2019 akan berdampak pada tingginya harga properti. Pengembang pun akan banyak melempar produk ke pasar. Dan boleh jadi hingga terjadi over supply.

Akibatnya, terjadi hukum pasar. Trend properti tahun sebelumnya kembali terulang. Pasokan barang yang berlebih mengakibatkan harga barang turun. Bisnis properti pun kembali lesu. [red]