Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Berita Rumah Bersubsidi 2019 dan 2020: DP Turun, Kuota Bertambah


 Berita Rumah Bersubsidi 2019 dan 2020: DP Turun, Kuota Bertambah

Berita rumah bersubsidi 2019 dan 2020 masih diburu. Pemerintah pun mengeluarkan kebijakan baru yang akan dilaksanakan pada 2020 mendatang, mulai dari kebijakan menurunkan DP hingga 1 persen dan menambah kuota rumah bersubsidi 2020.

110 Ribu Rumah Subsidi di 2020


Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) akan menyalurkan rumah subsidi sebanyak 110 ribu unit pada 2020 atau meningkat dibanding alokasi APBN 2019 sebanyak 68.868 unit.

Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Kementerian PUPR, Khalawi Abdul Hamid, Kamis (29/8/2019) lalu menyatakan, jumlah tersebut masih tidak terlalu besar lantaran ada potensi tidak terserap habis.

Menurutnya, Bank Tabungan Negara (BTN) yakni 95 persen mendapat jatah terbanyak dibanding bank lain dalam penyaluran rumah subsidi berbasis skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP).

Tambahan Kuota


Kementerian PUPR pada tahun ini juga akan mengajukan tambahan kuota rumah subsidi sekitar 140 ribu unit sehingga totalnya akan mencapai 208 ribu unit, dari sebelumnya sekitar 68 ribu unit.

"Kurang lebih ada penambahan sekitar 140 ribu unit. Itu dari 69 ribu unit. Pak Menteri PUPR, Basuki Hadimuljono sudah menyurati Bu Menkeu untuk meminta tambahan kuota. Kita tunggu saja hasilnya," ujarnya.

Turunkan DP Rumah Subsidi Menjadi Minimal 1 Persen


Kementerian PUPR mengubah persyaratan uang muka rumah subsidi dari minimal lima persen menjadi satu persen.

Wakil Menteri PUPR, John Wempi Wetipo mengatakan kebijakan itu dikuatkan dengan menerbitkan Peraturan Menteri PUPR Nomor 13/PRT/M/2019 tentang BP2BT.

Dia menjelaskan, persyaratan lama menabung pada sistem perbankan dari semula minimal enam bulan menjadi tiga bulan. Sedangkan pelonggaran persyaratan ketiga adalah perpanjangan masa berlaku Surat Keputusan Penerima Manfaat BP2BT ditambah dari semula 20 hari menjadi 30 hari.

Selain itu, relaksasi persyaratan Sertifikat Laik Fungsi (SLF) sebelum akad kredit menjadi surat pernyataan kelaikan fungsi bangunan rumah subsidi dari pengkaji teknis, pengawas konstruksi, atau manajemen konstruksi.

Kementerian PUPR juga telah menerbitkan Keputusan Menteri PUPR Nomor 1013/KPTS/M/2019 tentang Batasan Lebar Kaveling Rumah Sejahtera Tapak yang menetapkan relaksasi ketentuan lebar kaveling dari semula minimal enam meter menjadi paling rendah lima meter untuk site plan yang telah disetujui pemerintah daerah paling lambat 1 Oktober 2019.

Permintaan Pengembang


Pemerintah berencana melanjutkan program satu juta rumah pada tahun 2020. Namun, dunia properti berkata dana FLPP tercatat masih kurang. Isu sedikitnya kuota ini sudah disorot pihak pengembang sejak beberapa waktu lalu. Pemerintah pun diharap menggenjot pembiayaan untuk tahun depan.

"Jadi penyediaan untuk dana FLPP itu yang jumlahnya agak kurang, sehingga dibutuhkan lagi komitmen dari pemerintah tentang penyediaan dana untuk pembiayaan FLPP tahun depan," ujar Eddy Hussy, Ketua Badan Pertimbangan Organisasi Pusat asosiasi Realestat Indonesia (REI) seperti dilansir Liputan6.com, Minggu (3/11/2019).

Hal lain yang Eddy catat adalah soal regulasi. Ia berharap ada regulasi yang sifatnya lebih akomodatif bagi konsumen dan pembangun. Sebab, peminat rumah subsidi umumnya adalah masyarakat golongan kecil dan pengembangnya pun bukan dari perusahaan skala besar, sehingga lebih baik regulasinya tidak terlalu menyulitkan.

Sementara Sekjen DPP REI, Totok Lusida menilai kuota subsidi untuk tahun depan masih di bawah angka yang pengembang mampu realisasikan, yakni di atas 300 ribu rumah. Pihaknya menawarkan solusi dengan mempersingkat tenor KPR agar kuota rumah subsidi skema FLPP bisa bertambah.

Ia menjelaskan bahwa mengubah kebijakan subsidi dari 20 tahun menjadi tujuh tahun bisa meningkatkan anggaran kuota rumah subsidi menjadi tiga kali lipat, sehingga tahun depan subsidi bisa menjadi 300 ribu. Totok pun menyebut sudah membahas isu ini bersama Presiden, Kementerian PUPR, dan Kementerian Keuangan.

Tambah Anggaran Subsidi Rumah Murah Rp8,6 Triliun


Pemerintah menyetujui permintaan dari tiga asosiasi pengembang perumahan, yaitu Real Estate Indonesia (REI), Asosiasi Pengembangan Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (APERSI), dan Himpunan Pengembang Permukiman dan Perumahan Rakyat (Himperra) untuk menambah dana Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yang akan habis Agustus lalu.

“Tadi kami sampaikan bahwa untuk sampai di akhir tahun sebenarnya kita membutuhkan hampir 130 unit rumah FLPP yang perlu dana subsidinya. Akan tetapi kementerian PUPR sudah mengajukan ke Menteri Keuangan untuk unit hampir 80 ribu yaitu sebesar Rp8,6 triliun,” kata Ketua Umum REI Soelaeman Soemawinata usai diterima Presiden Joko Widodo, di Istana Merdeka, Jakarta, seperti dikutip dari laman Setkab, Rabu (18/9/2019).

Menurut Soelaeman, tambahan dana subsidi sebesar Rp 8,6 triliun yang akan cair minggu depan atau maksimal 2 minggu ke depan itu cukup untuk bisa mengambil nafas sampai November.

Menurut Ketua Umum REI itu, REI telah membangun rumah subsidi sebanyak 400 ribu unit, Himperra 60 ribu, dan APERSI 150 ribu. Sehingga kontribusi ketiga asosiasi itu secara keseluruhan sudah hampir 65 persen dari program sejuta rumah.

Soal Pajak


Mengenai usulan yang diajukan oleh ketiga asosiasi dalam pertemuan dengan Presiden Jokowi itu, menurut Ketua Umum REI Soelaeman Soemawinata, pihaknya memohon bagaimana caranya supaya industri properti ini cepat keluar dari krisis.

Untuk itu, mereka mengusulkan beberapa hal terutama di kebijakan mengenai perpajakan.

Dia menambahkan, dengan demikian secara psikologis akan membuat industri properti dan para pengembang bisa bekerja lebih tenang, karena tidak ada perubahan-perubahan strategi dan kebijakan di perusahaannya.

Menurut Soelaeman, Presiden Jokowi sangat concern sekali mengenai perizinan supaya industri properti terutama pengembang-pengembang ini bisa bekerja lebih cepat dan lebih tenang.

Dia menyebutkan, kalau melihat numerik dari angka-angka seperti bunga bank, dan lain-lain ini sebenarnya jauh lebih rendah dari pada saat booming properti 1994, tapi industri properti dengan numerik suku bunga yang rendah ini masih belum bergerak berarti ada hambatan psikologis.

“Hambatan psikologisnya kami sampaikan tadi bahwa kebijakan-kebijakan yang sifatnya bisa mengubah strategi pengembang menjadi menahan diri itu sebaiknya ditiadakan,” terang Soelaeman.[red]


Sumber: Liputan6.com