Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Inilah Survei Kuliner Indonesia dan Alasan Mengapa Sulit Promosi Kuliner ke Luar Negeri

Soal rasa, kuliner Indonesia memang jagonya. Namun apalah daya, kelezatan kuliner Indonesia sulit dinikmati orang luar negeri. Cari tahu apa penyebabnya di dalam hasil survei ini.
Soal rasa, kuliner Indonesia memang jagonya. Namun apalah daya, kelezatan kuliner Indonesia sulit dinikmati orang luar negeri. Cari tahu apa penyebabnya di dalam hasil survei ini.

BERI.WEB.ID - Indonesia memiliki banyak keanekaragaman kuliner. Hasil penelitian Pusat Studi Pangan dan Gizi Universitas Gajah Mada (UGM) mencatat tak kurang dari 3.257 hidangan yang dimiliki Indonesia.

Penelitian ini dilakukan Murdjiati Gardjito dan rekanannya. Dari jumlah tersebut rinciannya ada 1.100 kudapan basah dan kering, 150 minuman, 208 hidangan pokok dan 1.800 lauk pauk basah dan kering.

Namun begitu, keanekaragaman ini rupanya belum cukup menjadi modal untuk mempromosikan kuliner Indonesia di manca negara. Jika dibandingkan negara Asia seperti Thailand saja, kuliner Indonesia belum mampu mengalahkan popularitas kuliner mereka.

Padahal Indonesia pernah menetapkan 30 Ikon Kuliner Tradisional Indonesia pada 2012 lewat Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Lalu pada 2018, dari 30 makanan itu dipangkas menjadi 5 dan ditetapkan sebagai Makanan Nasional Indonesia diantaranya soto, rendang, sate, nasi goreng, dan gado-gado.

Pemerintah berdalih penyebab utama sulitnya mempromosikan kuliner Indonesia ke kancah dunia karena tidak memiliki destinasi khusus untuk destinasi kuliner. Seperti dikutip dari laman kompas.com, Menpar Arief Yahya disela acara jumpa pers Destinasi Gastronomi Dunia bersama UNWTO di Gedung Sapta Pesona, Selasa (11/6/2019) mengatakan berbeda dengan Thailand, mereka memiliki pinjaman lunak untuk pengusaha yang ingin membuka bisnis kuliner di luar negeri.

Pinjaman itu kata dia, nilainya mencapai U$100.000 atau sekitar Rp1,4 miliar. Sedangkan Indonesia tidak mampu, karena tidak memiliki anggaran untuk itu.Padahal kata dia, jika digarap serius, kuliner ini mampu menjadi magnet dalam dunia pariwisata. Data Kemenpar mencatat, wisatawan domestik akan menghabiskan 30-40 persen dana wisatanya untuk kuliner.

Bekraf juga mencatat subsektor kuliner berkontribusi 41,4 persen dari total kontribusi perekonomian kreatif Rp 922 triliun 2016. Kontribusi terbesar dibanding 16 subsektor lainnya di Bekraf RI.

Hilton Worldwide juga pernah melakukan survei terhadap 2.700 wisatawan dari 9 negara di Asia Pasifik. Hasilnya, lebih dari sepertiga atau 36 persen wisatawan Asia Pasifik menentukan destinasi wisata karena makanan dan minuman. Sebanyak 89 persen wisatawan mengatakan akan kembali ke sebuah destinasi hanya karena makanannya.

Hasil Survei: Orang Indonesia Lebih Suka Restoran Cepat Saji


Survei MasterCard bertajuk Consumer Purchasing Priorities membuktikan bahwa 80% orang Indonesia lebih suka ke restoran cepat saji dibandingkan restoran lain saat ingin makan di luar rumah.

Angka ini kemudian diikuti 61% orang memilih pusat jajanan, dan 22% orang memiliki restoran dan kafe kelas menengah. Sedangkan, restoran jamuan makan resmi hanya 1%.

Group Country Manager, Indonesia, Malaysia and Brunei, andGroup Head Islamic Payment South East Asia MasterCard mengatakan, mayoritas orang Indonesia memilik restoran cepat saji karena menyajikan berbagai menu makanan yang unit dan lezat.

Sebesar 58% konsumen ini biasanya menetapkan pilihan restoran dari hasil informasi mulut ke mulut atau rekomendasi dari teman dan keluarga.

Dan sekitar 11% konsumen memilih restoran dari hasil promosi yang ditawarkan oleh restoran tersebut.

Setelah bersantap di restoran, 7% dari masyarakat Indonesia juga menulis komen dan ulasan mengenai pengalaman kuliner mereka secara online.

Survei lain mengungkapkan, sebanyak 62% konsumen di Indonesia masih berencana untuk tetap makan dalam frekuensi yang sama dalam kurun waktu enam bulan ke depan.

Sementara itu, sebanyak 14% konsumen diantara berencana untuk lebih sering makan di luar dan sebesar 24% konsumen memilih untuk mengurangi frekuensi makan di restoran. [red]